Setelah raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan penguasa Singhasāri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singhāsāri pertama dan anak dari Dyah Lěmbu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Kĕrtanāgara yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Nāgarakertāgama menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Kěrtanāgara dinikahinya semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasāri, Raden Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singhasāri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Těrik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang.
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasāri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari, Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā, Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā, dan Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhūwaneśwari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhūwanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Rājadewi Mahārājasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalagěmět. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar 'dewa' dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kěrtanāgara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, Śrimat Tribhūwanarāja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasāri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanāgara. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanāgara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayanāgara juga terpengaruh oleh hasutan Mahāpati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (běkěl bhayangkāri). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.
Pada masa Jayanāgara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayanāgara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.
Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayanāgara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sadĕng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.
Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singhāsari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar Śri Rajasanāgara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhūmi (mahāpatih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitalokā, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitalokā bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.
Setelah peristiwa Bubat, Mahāpatih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pāduka Śori, anak dari Bhre Wĕngkĕr yang masih terhitung bibinya.
__________________
Reply With Quote
komodo_tea
View Public Profile
Send a private message to komodo_tea
Find all posts by komodo_tea
#2
Old 11-19-2008, 02:07 PM
komodo_tea's Avatar
komodo_tea komodo_tea is offline
Moderator
Join Date: Apr 2008
Location: dimanapun kau membayangkannya
Posts: 4,052
komodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond repute
Send a message via Yahoo to komodo_tea
Default
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Mahāpatih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhūmi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Parěgrěg. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumapĕl ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhūmi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhūmi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapĕl Dyah Kĕrtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar Śri Rājasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Sūryawikrama Giriśawardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhūmi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singhāsari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.
Kebudayaan
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama tidak menyebut keberadaan Islam, namun tampaknya ada anggota keluarga istana yang beragama Islam pada waktu itu.
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah pohon anggur dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Candi Bajangratu di Trowulan, Mojokerto.
Ekonomi
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.
Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata
Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.
Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
* Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
* Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
* Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
* Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[22] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
* Daha
* Jagaraga
* Kabalan
* Kahuripan
* Keling
* Kelinggapura
* Kembang Jenar
* Matahun
* Pajang
* Singhapura
* Tanjungpura
* Tumapel
* Wengker
* Wirabumi
Raja-raja Majapahit
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[7].
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
(Disarikan dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta) & Wikipedia
__________________
Reply With Quote
komodo_tea
View Public Profile
Send a private message to komodo_tea
Find all posts by komodo_tea
#3
Old 11-19-2008, 02:15 PM
rezzablog's Avatar
rezzablog rezzablog is offline
Lurah
Join Date: Oct 2008
Location: bandung
Posts: 483
rezzablog is on a distinguished road
Default
wah pas skul ga masuk yg pas pelajaran ini....
__________________
Reply With Quote
rezzablog
View Public Profile
Send a private message to rezzablog
Find all posts by rezzablog
#4
Old 11-19-2008, 02:19 PM
komodo_tea's Avatar
komodo_tea komodo_tea is offline
Moderator
Join Date: Apr 2008
Location: dimanapun kau membayangkannya
Posts: 4,052
komodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond repute
Send a message via Yahoo to komodo_tea
Default
Penyerbuan Bangsa Mongol Ke Jawa : Runtuhnya Kerajaan Singasari dan Munnculnya Kerajaan Majapahit
Setelah meruntuhkan kerajaan Tang, orang-orang Mongol kemudian mendirikan sebuah pemerintahan baru yang diberi nama Sung (Song). Salah satu anak Jenghis Khan, sang penakluk kerajaan Cina, bernama Kublai Khan menjadi raja pertamanya. Keinginan untuk memperluas pengaruh bangsa Mongol setelah menjajah Cina adalah menundukkan kerajaan-kerajaan lain di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur dengan menggunakan kekuatan militer dan politik.
Caranya dengan meminta para penguasa lokal untuk mengakui kaisar Mongol sebagai penguasa tunggal dan mengharuskan raja-raja lokal tersebut untuk mengirim upeti (tribute) kepada kaisar Cina. Salah satunya adalah ke Jawa yang kala itu diperintah oleh Raja Kartanagara dari kerajaan Singhasari.
Untuk maksud tersebut, Kublai Khan mengirim seorang utusan bernama Meng Chi ke Jawa meminta raja Kartanagara untuk tunduk di bawah kekuasaan Cina. Merasa tersinggung, utusan itu dicederai wajahnya oleh Kartanagara dan meingirimnya pulang ke Cina dengan pesan tegas bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kekuasaan raja Mongol. Perlakuan Kartanegara terhadap Meng Chi dianggap sebagai penghinaan kepada Kublai Khan. Sebagai seorang kaisar yang sangat berkuasa di daratan Asia saat itu, ia merasa terhina dan berniat untuk menghancurkan Jawa yang menurutnya telah mempermalukan bangsa Mongol.
Peristiwa penyerbuan ke Jawa ini dituliskan dalam beberapa sumber di Cina dan merupakan sejarah yang sangat menarik tentang kehancuran kerajaan Singhasari dan munculnya kerajaan Majapahit, seperti yang dapat kita baca dalam buku nomor 162 dari masa pemerintahan Dinasti Yuan yang terjemahannya dapat dibaca dalam buku W.P. Groeneveldt berjudul Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources (1963: 20-31).
Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol. Mereka diberangkatkan dari Fukien membawa 20.000 pasukan dan seribu kapal. Kublai Khan membekali pasukan ini untuk pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak. Shih Pi dan Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi, dan Hukuang. Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293. Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan.
Perjalanan menuju Pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala tentara Mongol karena harus melewati laut dengan ombak yang cukup besar. Banyak prajurit yang sakit karena tidak terbiasa melakukan pelayaran. Di Belitung mereka menebang pohon dan membuat perahu (boats) berukuran lebih kecil untuk masuk ke sungai-sungai di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah berlayar mengarungi laut cukup jauh.
Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi. Ketika berada di Tuban mereka mendengar bahwa raja Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Singhasari.
Oleh karena perintah Kublai Khan adalah menundukkan Jawa dan memaksa raja Singhasari, siapa pun orangnya, untuk mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka rencana menjatuhkan Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali berhenti di Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singhasari. Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol.
Diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki menuju Singhasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama. Sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur dari pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang.
Menurut cerita Pararaton, kedatangan bala tentara Mongol (disebut Tartar) adalah merupakan upaya Bupati Madura, Aria Wiraraja, yang mengundangnya ke Jawa untuk menjatuhkan Daha. Aria Wiraraja berjanji kepada raja Mongol bahwa ia akan mempersembahkan seorang puteri cantik sebagai tanda persahabatan apabila Daha dapat ditundukkan. Surat kepada raja Mongol disampaikan melalui jasa pedagang Cina yang kapalnya tengah merapat di Jawa (Pitono, 1965: 44).
Armada kapal kerajaan Mongol selebihnya dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki Jawa dari arah sungai Sedayu dan Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ike Mese dan Kau Hsing untuk memimpin pasukan darat. Beberapa panglima “pasukan 10.000-an” turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi diberangkatkan menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit setelah mendengar bahwa pasukan Raden Wijaya ingin bergabung tetapi tidak bisa meninggalkan pasukannya. Melihat keuntungan memperoleh bantuan dari dalam, pasukan Majapahit ini kemudian dijadikan bagian dari bala tentara kerajaan bangsa Mongol.
Untuk mempermudah gerakan bala tentara asing ini, Raden Wijaya memberi kebebasan untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan panduan untuk mencapai Daha, ibukota Singhasari. Ia juga memberikan peta wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun strategi perang menghancurkan Jayakatwang.
__________________
Reply With Quote
komodo_tea
View Public Profile
Send a private message to komodo_tea
Find all posts by komodo_tea
#5
Old 11-19-2008, 02:20 PM
komodo_tea's Avatar
komodo_tea komodo_tea is offline
Moderator
Join Date: Apr 2008
Location: dimanapun kau membayangkannya
Posts: 4,052
komodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond repute
Send a message via Yahoo to komodo_tea
Default
Selain Majapahit, beberapa kerajaan kecil (mungkin setingkat provinsi di masa sekarang) turut bergabung dengan orang-orang Mongol sehingga menambah besar kekuatan militer sudah sangat kuat ketika berangkat dari Cina. Persengkongkolan ini terwujud sebagai ungkapan rasa tidak suka mereka terhadap raja Jayakatwang yang telah membunuh Kartanegara melalui sebuah kudeta yang keji.
Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut sungai Kali Mas, penyerbuan ke kerajaan Singhasari mulai dilancarkan. Kekuatan kerajaan Singhasari di sungai tersebut dapat dilumpuhkan, lebih dari 100 kapal berdekorasi kepala raksasa dapat disita karena seluruh prajurit dan pejabat yang mempertahankannya melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.
Peperangan besar baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukan Mongol mendarat dan membangun kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara gabungan Mongol dengan Raden wijaya berhasil mengalahkan pasukan Singhasari. Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha, ibukota Singhasari. Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden wijaya melakukan pengejaran dan berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian. Pada hari ke-19 terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Singhasari.
Dilindungi oleh lebih dari 10.000 pasukan raja Jayakatwang berusaha memenangkan pertempuran mulai dari pagi hingga siang hari. Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di dunia.
Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak para penyerbu. Pasukan Singhasri terpecah dua, sebagian menuju sungai dan tenggelam di sana karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedang sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik akhirnya terbunuh (slain = bantai) setelah bertempur dengan tentara gabungan Mongol-Majapahit. Salah seorang anak Jayakatwang yang melarikan diri ke perbukitan di sekitar ibukota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan Kau Hsing berkekuatan seribu orang.
Jayakatwang menyadari kekalahannya, ia mundur dan bertahan di dalam kota yang dikelilingi benteng. Pada sore harinya ia memutuskan keluar dan menyerah karena tidak melihat kemungkinan untuk mampu bertahan.
Kemenangan pasukan gabungan ini menyenangkan bangsa Mongol. Seluruh anggota keluarga raja dan pejabat tinggi Singhasari berikut anak-anak mereka ditahan oleh bangsa Mongol. Sejarah Cina mencatat bahwa sebulan kemudian setelah penaklukan itu, Raden Wijaya memberontak dan membunuh 200 orang prajurit Mongol yang mengawalnya ke Majapahit untuk menyiapkan persembahakn kepada raja Kublai Khan. Adalah Sora dan Ranggalawe, dua panglima perang Majapahit yang sempat membantu orang-orang Mongol menjatuhkan Jayakatwang, melakukan penumpasan itu (Pitono, 1965 46).
Setelah itu, dengan membawa pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya menyerang balik orang-orang Mongol dan memaksa mereka keluar dari Pulau Jawa. Shih Pi dan Kau Hsing yang terpisah dari pasukannya itu harus melarikan diri sampai sejauh 300 li (± 130 kilometer), sebelum akhirnya dapat bergabung kembali dengan sisa pasukan yang menunggunya di pesisir utara. Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou.
Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya.
Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singhasari ke Cina beserta ribuan hadiah bagi kaisar. Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya. Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Singhasari berhasil dihancurkan.
Ternyata kegagalan Shih Pi menundukkan Jawa harus dibayar mahal olehnya. Ia menerima 17 kali cambukan atas perintah Kublai Khan, seluruh harta bendanya dirampas oleh kerajaan sebagai kompensasi atas peristiwa yang meredupkan kebesaran nama bangsa Mongol tersebut. Ia dipersalahkan atas tewasnya 3.000 lebih prajurit dalam ekspedisi menghukum Jawa tersebut.
Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kublai Khan karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah raja Kartanegara melukai wajah Meng Chi. Namun sebagai raja yang tahu menghargai kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi direhabilitasi dan harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam hirarkhi kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam usia 86 tahun.
Berbeda dengan Sora dan Ranggalawe, setelah berdirinya kerajaan Majapahit mereka justru dihukum mati karena dituduh melakukan makar (memberontak) terhadap Raden Wijaya atas hasutan Mahapati. Termasuk Nambi dan tokoh-tokoh berjasa lainnya yang mempunyai andil besar mendirikan kerajaan baru menggantikan hegemoni Singhasari di Nusantara.
sumber : majapahit kingdom.com
__________________
Reply With Quote
komodo_tea
View Public Profile
Send a private message to komodo_tea
Find all posts by komodo_tea
#6
Old 11-19-2008, 02:23 PM
komodo_tea's Avatar
komodo_tea komodo_tea is offline
Moderator
Join Date: Apr 2008
Location: dimanapun kau membayangkannya
Posts: 4,052
komodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond reputekomodo_tea has a reputation beyond repute
Send a message via Yahoo to komodo_tea
Default
Prasasti Majapahit
Prasasti adalah bukti sumber tertulis yang sangat penting dari masa lalu yang isinya antara lain mengenai kehidupan masyarakat misalnya tentang administrasi dan birokrasi pemerintahan, kehidupan ekonomi, pelaksanaan hukum dan keadilan, sistem pembagian bekerja, perdagangan, agama, kesenian, maupun adat istiadat (Noerhadi 1977: 22).
Seperti juga isi prasasti pada umumnya, prasasti dari masa Majapahit lebih banyak berisi tentang ketentuan suatu daerah menjadi daerah perdikan atau sima. Meskipun demikian, banak hal yang menarik untuk diungkapkan di sini, antara lain, yaitu:
Prasasti Kudadu (1294 M)
Mengenai pengalaman Raden Wijaya sebelum menjadi Raja Majapahit yang telah ditolong oleh Rama Kudadu dari kejaran balatentara Yayakatwang setelah Raden Wijaya menjadi raja dan bergelar Krtajaya Jayawardhana Anantawikramottunggadewa, penduduk desa Kudadu dan Kepaa desanya (Rama) diberi hadiah tanah sima.
Prasasti Sukamerta (1296 M) dan Prasasti Balawi (1305 M)
Mengenai Raden Wijaya yang telah memperisteri keempat putri Kertanegara yaitu Sri Paduka Parameswari Dyah Sri Tribhuwaneswari, Sri Paduka Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Paduka Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Paduka Rajapadmi Dyah Dewi Gayatri, serta menyebutkan anaknya dari permaisuri bernama Sri Jayanegara yang dijadikan raja muda di Daha.
Prasasti Wingun Pitu (1447 M)
Mengungkapkan bentuk pemerintahan dan sistem birokrasi Kerajaan Majapahit yang terdiri dari 14 kerajaan bawahan yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre, yaitu Bhre Daha, Kahuripan, Pajang, Werngker, Wirabumi, Matahun, Tumapel, Jagaraga, Tanjungpura, Kembang Jenar, Kabalan, Singhapura, Keling, dan Kelinggapura.
Prasasti Canggu (1358 M)
Mengenai pengaturan tempat-tempat penyeberangan di Bengawan Solo.
Prasasti Biluluk (1366 M0, Biluluk II (1393 M), Biluluk III (1395 M).
Menyebutkan tentang pengaturan sumber air asin untuk keperluan pembuatan garam dan ketentuan pajaknya.
Prasasti Karang Bogem (1387 M)
Menyebutkan tentang pembukaan daerah perikanan di Karang Bogem.
Prasasti Marahi Manuk (tt) dan Prasasti Parung (tt)
Mengenai sengketa tanah. Persengketaan ini diputuskan oleh pejabat kehakiman yang menguasai kitab-kitab hukum adata setempat.
Prasasti Katiden I (1392 M0
Menyebutkan tentang pembebasan daerah bagi penduduk desa Katiden yang meliputi 11 wilayah desa. Pembebasan pajak ini karena mereka mempunyai tugas berat, yaitu menjaga dan memelihara hutan alang-alang di daerah Gunung Lejar.
Prasasti Alasantan (939 M)
Menyebutkan bahwa pada tanggal 6 September 939 M, Sri Maharaja Rakai Halu Dyah Sindok Sri Isanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan sima milik Rakryan Kabayan.
Prasasti Kamban (941 M)
Meyebutkan bahwa apada tanggal 19 Maret 941 M, Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikrama Dyah Matanggadewa meresmikan desa Kamban menjadi daerah perdikan.
Prasasti Hara-hara (Trowulan VI) (966 M).
Menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Agustus 966 M, mpu Mano menyerahkan tanah yang menjadi haknya secara turun temurun kepada Mpungku Susuk Pager dan Mpungku Nairanjana untuk dipergunakan membiayai sebuah rumah doa (Kuti).
Prasasti Wurare (1289 M)
Menyebutkan bahwa pada tanggal 21 September 1289 Sri Jnamasiwabajra, raja yang berhasil mempersatukan Janggala dan Panjalu, menahbiskan arca Mahaksobhya di Wurane. Gelar raja itu ialaha Krtanagara setelah ditahbiskan sebagai Jina (dhyani Buddha).
Prasasti Maribong (Trowulan II) (1264 M)
Menyebutkan bahwa pada tanggal 28 Agustus 1264 M Wisnuwardhana memberi tanda pemberian hak perdikan bagi desa Maribong.
Prasasti Canggu (Trowulan I)
Mengenai aturan dan ketentuan kedudukan hukum desa-desa di tepi sungai Brantas dan Solo yang menjadi tempat penyeberangan. Desa-desa itu diberi kedudukan perdikan dan bebas dari kewajiban membayar pajak, tetapi diwajibkan memberi semacam sumbangan untuk kepentingan upacara keagamaan dan diatur oleh Panji Margabhaya Ki Ajaran Rata, penguasa tempat penyeberangan di Canggu, dan Panji Angrak saji Ki Ajaran Ragi, penguasa tempat penyeberangan di Terung.
ditulis oleh :Titi Surti Nastiti
__________________
Reply With Quote
komodo_tea
View Public Profile
Send a private message to komodo_tea
Find all posts by komodo_tea
#7
Old 11-19-2008, 02:58 PM
Bathara Narada's Avatar
Bathara Narada Bathara Narada is offline
Moderator Kahyangan
Join Date: Apr 2005
Location: Sudukpangudaludal
Posts: 3,033
Bathara Narada has a brilliant futureBathara Narada has a brilliant futureBathara Narada has a brilliant futureBathara Narada has a brilliant futureBathara Narada has a brilliant future
Send a message via Yahoo to Bathara Narada
Default
Ada beberapa hal yang menarik di sini yang mungkin bisa dijadikan tambahan.
Prabhu Hayam Wuruk memang dianggap sebagai raja yang paling mashyur. Namun perlu dicatat bahwa ia menduduki tahta kerajaan di kala Majapahit sudah mencapai kestabilan.
Jarang di catat bahwa kestabilan itu adalah buah dari pemerintahan maminya... yang notabene adalah seorang wanita...
Kemudian mengenai perang Bubat...
Dikisahkan itu adalah ide Mpu Mada untuk menaklukkan Padjajaran, dan bahkan Mpu Mada yang memerintahkan penyerangan.
Menurut saya ini agak tidak masuk akal... Bagaimanapun juga Sang Prabhu Hayamwuruk adalah masih keturunan Pasundan. Sulit dipahami bagaimana Mpu Mada berani nekat menyerang dan memporak porandakan utusan Pasundan, yang nota bene adalah asal muasal sesembahannya?
Saya curiga bahwa kisah penyerbuan Mpu Mada ke Pajajaran ini adalah rekayasa Belanda untuk memecah belah Jawa pada masa penjajahan dulu.